Sebagai seseorang yang secara rutin mendokumentasikan perkembangan Ibu Kota Nusantara (IKN), saya menyadari bahwa setiap kunjungan ke lapangan selalu membawa cerita baru. Kali ini, saya kembali mengunjungi kawasan Bandara Internasional Nusantara, dan yang langsung mencuri perhatian adalah kondisi runway utama yang tampak semakin matang secara fisik.

Landasan pacu sepanjang 3.000 meter ini kini telah dicat penuh, lengkap dengan marka angka "07" yang menunjukkan arah pendaratan ke timur laut. Garis-garis seperti centerline dan threshold sudah terlihat jelas—menandakan bahwa bagian ini telah memasuki fase akhir dari konstruksi.
Bagi saya yang sudah menyaksikan kawasan ini sejak masih berupa hamparan tanah merah, melihat landasan ini kini terbentang luas adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Tapi tentu, apresiasi tidak selalu berarti harus menutup mata. Dalam setiap dokumentasi yang saya buat, saya berusaha tetap netral, jujur, dan kritis terhadap apa yang terjadi di lapangan.

Siap Dilihat, Belum Siap Diterbangkan
Dari sisi konstruksi, runway ini jelas menunjukkan kesiapan. Namun, berdasarkan informasi resmi, walaupun sertifikasi kelayakan operasional sudah diterbitkan oleh Direktorat Bandar Udara Kemenhub pada 12 Juni 2025, bandara ini belum bisa langsung digunakan untuk penerbangan komersial. Regulasi operasionalnya masih menunggu disahkan.
Hal seperti ini bukan hal baru dalam proyek skala besar. Tapi tetap perlu dicatat dan disampaikan agar masyarakat memiliki harapan yang realistis dan tidak hanya terpukau oleh tampilan fisik saja.

Bandara Sebagai Gerbang Harapan
Dalam dokumentasi saya kali ini, saya juga merekam latar belakang kawasan industri Teluk Balikpapan yang tampak dari kejauhan. Ini menunjukkan bahwa IKN tidak dibangun dalam ruang kosong, tapi berdampingan dengan ekosistem ekonomi yang sudah lebih dulu berjalan.
Saya percaya, bandara ini ke depan bisa menjadi penghubung penting—bukan hanya untuk logistik dan transportasi, tapi juga untuk pertemuan ide, kolaborasi antarwilayah, dan pertumbuhan yang inklusif.
Sebagai warga Kalimantan Timur, saya merasa punya tanggung jawab moral untuk terus mendokumentasikan proses ini. Tidak hanya ketika hasilnya sudah jadi dan megah, tapi justru sejak tahap demi tahapnya masih penuh debu dan pertanyaan. Karena dari sinilah sejarah akan tercatat — dari mata yang menyaksikan, dan dari suara yang tetap jujur.