Ketika bicara tentang pembangunan kota masa depan, perhatian saya selalu tertuju pada bagaimana kota itu bersahabat dengan alamnya. Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah proyek besar yang tidak hanya menjanjikan kemajuan, tetapi juga menghadirkan tantangan ekologis yang kompleks. Salah satunya: banjir.
Saya ingin mengajak Anda mengenal satu elemen penting yang dirancang untuk menjawab tantangan itu: kolam retensi. Sebuah struktur sederhana secara visual, tapi punya peran luar biasa dalam sistem pengelolaan air hujan dan pencegahan banjir di kawasan IKN.
![]() |
Kolam Retensi / Embung MBH (Poto Dian Rana) |
Apa Itu Kolam Retensi?
Kolam retensi adalah bagian dari sistem drainase buatan yang berfungsi menampung limpasan air hujan. Berbeda dari kolam biasa, kolam ini dirancang untuk menahan air sementara, lalu melepaskannya secara perlahan ke saluran air atau meresapkannya ke dalam tanah. Dalam konteks IKN, kolam retensi menjadi garda depan pengendalian banjir karena daerah ini memiliki curah hujan tinggi dan kontur yang variatif (Wikipedia, 2024).
Peran Kolam Retensi di IKN
Otorita IKN bersama Kementerian PUPR telah merancang infrastruktur banjir berbasis ekologi dengan mengintegrasikan kolam retensi, bendung, embung, dan ruang terbuka hijau. Pada tahun 2023, sudah dibangun lebih dari empat kolam retensi di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) seperti SG-3, TR-01, dan TR-7 (Tempo, 2023).
Kolam-kolam ini dirancang untuk mengelola debit air dari hujan ekstrem yang mungkin terjadi setiap 100 tahun sekali (CNN Indonesia, 2022).
Menuju “Sponge City” Versi Nusantara
Yang membuat saya pribadi tertarik adalah bagaimana konsep ini tidak berdiri sendiri. Kolam retensi menjadi bagian dari visi besar IKN sebagai kota spons—kota yang menyerap dan mengelola air seperti spons alami.
- 75% ruang terbuka hijau
- Sistem resapan alami: tanah, vegetasi, saluran alami
- Kolaborasi dengan konservasi hutan dan reboisasi
Dengan pendekatan seperti ini, saya melihat potensi nyata untuk kota yang resilien terhadap perubahan iklim.
Realita di Lapangan
Meski dirancang sedemikian rupa, tantangan tetap ada. Banjir masih terjadi di beberapa kawasan seperti Kelurahan Sepaku pada Maret 2024 (Wikipedia, 2024). Ini bukan berarti sistemnya gagal, tapi menunjukkan bahwa pengendalian banjir adalah proses bertahap.
Dalam situs resmi IKN, disebutkan bahwa pembangunan kolam retensi terus ditingkatkan sebagai respons terhadap dinamika cuaca ekstrem dan pertumbuhan wilayah yang cepat (ikn.go.id, 2025).
Catatan Pribadi
Sebagai seseorang yang percaya bahwa kota bisa menjadi ruang hidup yang resilien, saya melihat kolam retensi bukan hanya sebagai infrastruktur, tapi sebagai simbol kompromi antara manusia dan air. Ia tidak mengusir air, tapi memeluknya. Menahannya sejenak, lalu melepasnya dengan penuh kendali.
IKN mungkin masih dalam tahap awal pembangunan, namun dengan pendekatan seperti ini, saya optimis bahwa kota ini bisa menjadi contoh bagaimana kita hidup bersama alam—bukan di atasnya.