Type Here to Get Search Results !

Janji Terakhir untuk Ibu: Kisah Cinta Seorang Anak – Dian Rana

Dian Rana 0

Janji Terakhir untuk Ibu

Oleh: Dian Rana

Sejak aku membuka mata di dunia ini, hanya satu sosok yang selalu ada: Ibu.


Aku tidak pernah mengenal wajah ayah. Tak ada kenangan tentang sosok laki-laki dewasa yang menggendongku atau membisikkan nasihat dalam diam. Yang kutahu, ibu adalah segalanya. Ia membesarkanku sendiri—dengan tangan yang lelah tapi hati yang tak pernah menyerah. Dalam rumah mungil kami di pinggir kota, tak pernah ada rahasia. Apa pun yang kurasakan, selalu kuceritakan padanya. Karena bagiku, ibu bukan hanya orang tua. Ia adalah rumah.

Aku selalu percaya pada setiap katanya. Bahkan ketika suatu hari ia bicara lirih, bahwa ia ingin segera menggendong cucu dariku. Aku hanya bisa tersenyum dan menggenggam tangannya.

“Ibu tak ingin hidup sendiri terus... Aku hanya ingin melihatmu bahagia,” katanya dengan mata yang mulai basah.
Aku tahu maksudnya baik. Tapi hatiku masih takut. Aku pernah melihat bagaimana konflik antara menantu dan mertua bisa menghancurkan sebuah keluarga. Aku tak ingin itu terjadi. Aku tak ingin ibu tersingkir oleh orang yang baru hadir dalam hidupku.

Namun ibu tak pernah menyerah. Setiap selesai salat, ia memanjatkan doa yang sama: agar aku segera menemukan seseorang yang bisa menjadi teman hidup, sekaligus penerus doa-doa setelahnya.

Doa itu dikabulkan.

Lewat perkenalan singkat, aku menerima pinangan dari seorang perempuan yang dipilihkan ibu. Kami hanya sempat saling bertukar kabar lewat telepon dan pesan singkat. Tapi aku yakin, jika ibu yang memilih, maka itu bukan keputusan sembarangan.

Kami menikah. Tak lama, aku mulai merasakan sesuatu yang sulit kujelaskan. Ada perbedaan yang terus membesar antara ibu dan istriku. Aku berusaha menengahi, tapi aku tahu—aku belum cukup dewasa untuk membagi peran sebagai suami dan sebagai anak.

Hubungan kami kandas. Istriku kembali ke rumah orang tuanya. Ibu terlihat murung, merasa bersalah karena telah memilihkan jodoh yang tak sejalan. Tapi aku menenangkannya. Bagiku, tidak ada yang salah. Hanya takdir yang berkata lain.

Waktu berlalu, dan ibu kembali mengutarakan harapannya—kali ini lebih lirih, lebih dalam. Ia ingin menggendong cucu. Tapi aku masih ragu. Hatiku masih berat. Sampai suatu hari, aku memberanikan diri membuka hati lagi. Seorang gadis muda dari lingkungan sekitar menarik perhatianku. Kami mulai mengenal, perlahan namun pasti.

Di tengah banyak rintangan dan perbedaan usia, aku bersikeras. Aku ingin mencoba lagi. Tapi kali ini, dengan kejujuran dari awal. Bahwa aku adalah anak lelaki yang tak akan pernah bisa lepas dari ibunya. Bahwa siapa pun yang menjadi istriku, harus mau hidup bersama ibuku.

Dan akhirnya, dia bersedia.

Ibu tersenyum lebar saat aku menikah kembali. Meskipun tubuhnya sudah sering sakit, senyum itu tak pernah pudar. Dua bulan setelah pernikahan, kabar bahagia itu datang: istriku hamil. Ibu menangis, kali ini karena bahagia. Doanya selama bertahun-tahun akhirnya dijawab Tuhan.

Namun waktu tak memberi kami banyak. Kesehatan ibu kian memburuk. Aku mulai merasa gelisah. Suatu pagi sebelum aku berangkat kerja, ibu memelukku dan berpesan,

Baca juga Artikel ini 👇

    “Kalau Ibu tidak ada nanti… lanjutkan hidupmu. Jangan bawa luka. Jangan simpan penyesalan…”
    Aku mengangguk, pura-pura tegar. Tapi hatiku seolah luruh bersama pelukannya.

    Beberapa hari kemudian, ibu benar-benar sakit parah. Kami membawanya ke rumah sakit. Dokter menyebut kadar gula darahnya melonjak drastis. Ibu dilarikan ke rumah sakit rujukan. Di sana, di antara deru alat medis dan lampu putih yang menyilaukan, aku menyaksikan perjuangan ibu melawan ajal.

    Aku memanggil namanya. Aku berbisik di telinganya, memohon agar ia membuka mata. Tapi tak ada gerakan. Tak ada balasan.

    Lalu, perlahan, suara dokter memecah keheningan:
    "Ibu Anda sudah pergi."
    Hatiku hancur. Dunia seolah runtuh. Sepupuku Tini—yang sejak awal membantu mengurus Ibu—langsung memelukku erat. Ia tahu betul perjalanan hidupku bersama ibu. Dalam pelukannya, aku menangis dalam diam. Dunia mendadak sunyi.

    Tapi di tengah kepedihan itu, aku mendengar suara yang entah dari mana:
    "Nak, jangan menangis. Aku selalu ada. Lanjutkan perjuangan kita. Rawat anakmu, seperti aku merawatmu dulu."
    Hari itu, dunia kehilangan satu jiwa yang begitu berharga bagiku.

    Kini, aku hidup bersama anakku, Raka Alvaro Khayana Alexis. Dalam dirinya, aku melihat cahaya ibu. Senyumnya, semangatnya, dan cinta yang dulu hanya kutemui di pelukan ibu, kini hadir kembali—dalam bentuk yang berbeda.

    Setiap malam, aku menceritakan padanya tentang seorang perempuan luar biasa yang telah memberiku segalanya, bahkan sebelum aku meminta.

    Pesan untukmu yang membaca:

    Jika ibumu masih hidup, peluklah ia. Bahagiakanlah ia. Jangan tunggu sampai doa dan air matamu hanya bisa dilemparkan ke langit yang kosong. Karena sekali ia pergi, yang tersisa hanya kenangan... dan penyesalan yang tak bisa dipeluk kembali.

    Dian Rana
    Untuk Ibu, yang kini menjadi cahaya dalam langkahku.

    Posting Komentar

    0 Komentar
    * Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.